Senin, 04 Mei 2015

Fiksi Mini

Setitik Cahaya Jiwa
            Wajahku masih berlinang air mata. Sembilu tajam mengoyak segumpal hatiku. Ingin aku berteriak. Namun apalah dayaku. Aku tak bisa.. Aku benar-benar tak bisa. Tenggorokanku terlalu sesak, menahan tangis yang tak sepenuhnya tertuang. Andai saja.., ah tidak. Tidak boleh aku berpikiran seperti itu. Pikiran itu hanya boleh dimiliki orang-orang tak ber-Tuhan. Sedangkan aku? Apa gunanya hidupku selama enam belas tahun ini, jika aku melakukannya? Bunuh diri yang dimurkai-Nya.
            Sayup-sayup terdengar seruan adzan yang membelah kesunyian.Ya Allah, entah kapan kali terakhir aku melakukan kewajiban itu. Masih pantaskah aku dianggap sebagai hamba-Mu?
            “Mbak, mau salat ‘a?” suara khas orang Malang terdengar bagai petir yang mengguncang jiwaku. Belum sempat aku menjawab. “Jamaah ya?”
            Entah angin surga apa yang menganggukkan kepalaku, mengiyakan tawaran seorang lelaki, yang bahkan tak kukenal. Selesai salat, lelaki itu melantunkan beberapa doa yang berhasil membuat darahku berdesir. Kemudian pergi. Tak sempat aku bertanya nama atau sekedar berucap terima kasih padanya. Ya Allah, andai suatu saat aku bisa bertemu lagi dengannya. Entah berapa kali akan kuucap terima kasih padanya, yang telah menunjukkan kembali cahaya ke-agunganMu, setelah kecelakaan hebat yang merenggut penglihatan, serta kedua orang tua dan adikku..

Tulungagung, 16-01-2015

Tidak ada komentar :

Posting Komentar