Setitik Cahaya Jiwa
Wajahku masih berlinang air mata. Sembilu tajam
mengoyak segumpal hatiku. Ingin aku berteriak. Namun apalah dayaku. Aku tak
bisa.. Aku benar-benar tak bisa. Tenggorokanku terlalu sesak, menahan tangis yang
tak sepenuhnya tertuang. Andai saja.., ah tidak. Tidak boleh aku berpikiran
seperti itu. Pikiran itu hanya boleh dimiliki orang-orang tak ber-Tuhan.
Sedangkan aku? Apa gunanya hidupku selama enam belas tahun ini, jika aku melakukannya?
Bunuh diri yang dimurkai-Nya.
Sayup-sayup
terdengar seruan adzan yang membelah kesunyian.Ya Allah, entah kapan kali terakhir
aku melakukan kewajiban itu. Masih pantaskah aku dianggap sebagai hamba-Mu?
“Mbak,
mau salat ‘a?” suara khas orang Malang terdengar bagai petir yang mengguncang
jiwaku. Belum sempat aku menjawab. “Jamaah ya?”
Entah
angin surga apa yang menganggukkan kepalaku, mengiyakan tawaran seorang lelaki,
yang bahkan tak kukenal. Selesai salat, lelaki itu melantunkan beberapa doa
yang berhasil membuat darahku berdesir. Kemudian pergi. Tak sempat aku bertanya
nama atau sekedar berucap terima kasih padanya. Ya Allah, andai suatu saat aku
bisa bertemu lagi dengannya. Entah berapa kali akan kuucap terima kasih
padanya, yang telah menunjukkan kembali cahaya ke-agunganMu, setelah kecelakaan
hebat yang merenggut penglihatan, serta kedua orang tua dan adikku..
Tulungagung, 16-01-2015
Tidak ada komentar :
Posting Komentar