Our Secret of Love
Oleh: Desy Nurindah
Lagi-lagi pelajaran matematika membuatku
bosan dan berkali-kali menguap. Entah mengapa dari dulu aku paling alergi
terhadap pelajaran yang satu ini. Pelajaran yang sering kali membuatku pusing
seribu keliling. Soal-soal latihan yang amat rumit, sangat jarang kufahami.
Sering kali aku berpikir, kenapa harus ada pelajaran matematika di dunia ini.
Tapi, kalau tidak ada ilmu matematika, aku yakin manusia tidak akan mengenal
uang.
Panggilan Anika, teman sebangkuku sejak
SMP membuyarkan lamunan tak penting itu. Seperti biasa, obrolan mengenai sepak
bola menjadi topik utama kami. Mulai dari membanding-bandingkan kualitas
permainan para pesepak bola, hingga membahas kekasih mereka. Entah berapa kali
kami membicarakan hal yang sama. Waktu bak kilatan cahaya ketika kami membicarakan
hal itu. Mataku yang tadinya hanya berpijar dua setengah watt kini menjadi
seribu watt, atau bahkan lebih.
“Kalian berdua… apa yang kalian lakukan?
Kamu yang berkaca mata maju ke depan, coba kerjakan soal di papan!” Bu Siti nampak
seperti singa yang siap menerkamku. Suaranya yang nyaring memekakkan gendang
telingaku, matanya yang belo memelototiku, bibirnya yang memakai gincu
merah seperti vampir yang minum darah.
Duh mati aku, tak ada sedikit pun materi
yang nyangkut di jaring-jaring otakku. Dengan terpaksa aku maju dan mengambil
spidol biru dari tangan Bu Siti. Aku berjalan perlahan menuju papan tulis.
Sejenak aku terdiam, deretan angka di depan mataku telah menjelma menjadi barisan
ulat bulu yang menjijikkan. Kupelototi satu per satu ulat bulu itu. Tak lama
kemudian kegelisahanku berubah menjadi ribuan syukur. Sang pencipta telah menyelamatkanku dari maut yang
mungkin bagi banyak orang, hal ini konyol. Bel pulang terdengar begitu merdu,
hari ini pulang tiga jam lebih awal dari biasa. Aku tersenyum lega. Namun
tanganku masih bergetar dan mengeluarkan keringat dingin.
“Ya sudah, kamu silahkan berkemas..”
Senyumku semakin merekah.
“Eh tunggu dulu, soal di papan itu PR khusus buat kamu. Besok
kamu taruh di bangku saya, di ruang guru.”
Aku hanya mengangguk pasrah. Ya
sudahlah, mau tidak mau aku harus menurutinya.
Konon katanya, guru ini suka menggosipkan murid-muridnya di kelas lain.
Gengsi juga kan, kalau sampai aku popular dengan predikat yang memalukan. Huhu…
aku tak sanggup membayangkannya.
“Huh.. hampir saja aku mati berdiri,
untunglah Tuhan masih menyayangiku.” Bisikku pada Anika.
“Lagian kalian sih, udah tahu itu guru
killer banget, beraninya kalian ngobrol sendiri. Parah kalian..” cuap Finda, yang duduk di
belakangku.
“Apa sih yang kalian obrolin? Jujur deh,
aku gak faham sedikit pun dengan arah pembicaraan kalian.” Sambung Via, yang
duduk di sebelah Finda.
Aku dan Anika hanya saling berpandangan
kemudian tertawa lepas mendengar komentar dua teman kami , bersamaan dengan
keluarnya Bu Siti dari kelas. Komentar serupa sudah sering kami terima. Sejak
kami mengidolakan Timnas Indonesia U 19, kami serasa memiliki dunia sendiri.
Tidak semua orang memahami arah pembicaraan kami. Ya, contohnya dua manusia di
belakangku ini.
Begitu keluar kelas, aku mengajak Anika
mengunjungi perpustakaan sekolah yang berada tepat di depan kelasku. Aku sangat
suka membaca, khususnya novel. Mungkin hal itu yang menjadi salah satu faktor
penyebab minus tiga di mataku.
Bangunan yang tak begitu luas, namun
inilah gudang ilmu, buku-buku berbaris rapi dalam setiap rak yang ada. Mataku
masih sibuk memilih judul buku yang akan menemani waktu luangku nanti.
Laki-laki berjaket merah melintas tepat
di sampingku. Ya Tuhan… kenapa aku harus bertemu orang ini lagi? Luka ini sudah
cukup membuatku jera untuk mengenal cinta kembali. Aku ingin berlari keluar
dari perpustakaan yang kini telah menjadi neraka. Tapi kenapa kakiku seakan
telah terpatri. Aku tak bisa melangkah
sejengkal pun. Dia memandangku, kemudian berlalu meninggalkan serpihan
senyumnya yang masih sama seperti dua tahun lalu. Aku hanya tertunduk, tak
sanggup melihat wajahnya lebih lama lagi.
“Kamu kenapa Rin, itu tadi siapa sih?”
Tanya Anika. Segera kutarik lengannya keluar dari perpustakaan. Sesampainya di
depan, kuceritakan semua tentang lelaki tadi kepada Anika.
“Oh jadi ini alasan kamu selalu menolak
ketika Finda memaksamu ikut ekskul REMAS?”
Aku mengangguk.
“Tapi, aku bingung sama kamu, kenapa
kamu benci sama dia?”
“Jujur, aku sendiri juga bingung. Tapi
yang pasti, bukan aku yang menginginkan untuk membencinya.” Ucapku lirih hampir
tak bersuara.
Anika mengangguk faham. “Udah ah, gak
usah sedih lagi. Nanti malem your Mal-Mal tanding lho.” Anika berusaha menghiburku
dengan nada menggoda.
Benar saja, secara otomatis aku selalu
tersenyum ketika mendengar kalimat itu. Iya, aku sudah sangat terpesona dengan pemain
Timnas Indonesia U-19 ini, Maldini Pali.
***
Selasa pagi yang cerah. Burung-burung
bersenandung sembari melompat riang dari satu ranting ke ranting yang lain. Matahari
masih nampak malu-malu menebarkan senyumnya. Hari ini aku sengaja datang lebih
awal, karena aku tak mau melihat sosok itu lagi, Muchlis Ilhamka. Dia kakak
kelasku sewaktu SMP dan kini juga menjadi kakak kelasku di SMA. Aku pertama
kali mengenalnya ketika aku menjadi member di ekstrakurikuler REMAS. Waktu itu,
dia menjabat sebagai ketua ekskul.
Dulu aku sangat akrab dengannya. Jujur,
dulu aku sangat mengaguminya, terlebih ketika suara merdunya ia gunakan untuk
melafalkan kitab suci. Dia baik dan sering mengirimiku sms penuh perhatian yang
mengingatkanku untuk beribadah. Hingga suatu waktu, dia bertanya pendapatku
tentang pacaran dalam syariat agama yang kami anut. Dia setuju dengan
pendapatku, bahwa tidak ada hadist yang membenarkan tentang berpacaran. Bahkan
dia memperkuat jawabanku dengan ayat Al-Quran. Namun, tak lama dari kejadian
itu, aku mendengar gosip bahwa Kak Muchlis berpacaran dengan teman sekelasku,
Danisha. Awalnya aku tak percaya. Namun pada akhirnya, mau tak mau, sanggup tak
sanggup, rela tak rela aku harus melempar jauh-jauh kekagumanku padanya. Ketika
aku benar-benar mengetahuinya berduaan dengan Danisha dan memanggil Danisha
dengan sebutan “sayang”.
“Assalamu’alaikum Rinda.. Bagaimana
kabarmu pagi ini?”
Suara itu, suara itu milik...
Kudongakkan kepala untuk memastikan
kalau dia bukan orang yang kukira. Tapi sial. Dia benar-benar Kak Muchlis.
“Wa..wa.. wa’alaikumsalam, Kak.
Alhamdulillah, aku masih dalam lindungan-Nya.” Jawabku dengan suara bergetar.
“Oh iya, maaf Kak, aku harus buru-buru ke kelas. Aku piket hari ini.”
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku
langsung melesat ke kelas yang berada tak jauh dari tempat parkir. Terpaksa aku
harus berbohong, karena aku tak ingin berlama-lama ada di dekatnya.
Sesampainya di kelas, kuperhatikan
wajah-wajah temanku satu per satu. Ada yang aneh, siapa yang duduk di bangkuku?
Apa dia murid baru? Lantas, kenapa seisi kelas memandangiku dengan tatapan
aneh. Sekarang aku benar-benar merasa seperti makhluk dari planet lain yang
nyasar ke Bumi.
“Lhoh, Rinda, kenapa kamu di sini?
Bukannya tadi kamu bilang mau buru-buru ke kelas untuk piket?”
Kupakai kaca mata yang dari tadi
nongkrong di saku rok abu-abuku. Astaghfirulloh.. Tuhan, betapa malunya aku, ketika
sadar bahwa aku salah masuk kelas. Dan yang lebih parah lagi, ini adalah kelas
Kak Muchlis.
“Aku mau… Emm, nemuin Kakak. Iya..” jawabku
seadanya. Untuk menyamarkan rasa malu yang kini menderaku.
“Bukannya tadi kita udah ketemu di depan
tempat parkir? Ah sudahlah nggak penting, sekarang kamu mau ngomong apa?”
Dasar bodoh, kenapa aku bilang kalau mau
menemuinya. Aku harus jawab apa coba.
“Emm… Aku mau tanya soal matematika yang
aku gak ngerti..” Hanya itu yang ada di pikiranku saat ini. Lagian PR yang
kemarin belum aku kerjakan sama sekali.
“ Oh, aku kira mau tanya apa. Coba
lihat, mana soalnya?”
Kutunjukkan soal itu pada Kak Muchlis.
Dia Nampak berpikir sejenak, kemudian menuliskan jawabannya di kertas buram
sambil menjelaskan proses-proses pengerjaannya secara rinci kepadaku. Tak lupa
kuucap kata terima kasih padanya. Kata yang sudah lebih dari dua tahun tak
pernah kuberikan padanya.
***
“Hai Miss Mal-Mal.. Tumben jam segini
baru datang?” sapa Anika yang tengah memainkan laptop di bangkunya.
“Ceritanya panjang..,” jawabku datar.
“Ceritain dong?!!”
Aku pun menceritakan semua kejadian
memalukan tadi pada Anika. Spontan ia langsung tertawa terbahak-bahak hingga
wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Melihat raut wajahku yang cemberut,
semakin keras dia tertawa.
“Nyebelin banget sih kamu, udah tahu aku
tertimpa badai di pagi yang cerah kaya gini, kamu malah tertawa.” Gerutuku.
“Iya deh, maaf-maaf. Jangan marah dong,
nanti Maldini takut lho. Lagian kamu ini aneh deh. Kemarin ngomong benci sama
Kak M, eh pagi ini malah minta diajarin matematika. Trus itu, kenapa kamu bisa
salah kelas sih?” Anika masih tertawa.
“Tadi itu kaca mataku aku lepas.”
“Mimpi apa ya aku dulu, punya temen aneh
seperti kamu..” ledek Anika. Aku hanya diam.
Bel masuk berbunyi tepat pukul 07.00.
Semua murid kembali pada bangkunya masing-masing dan menyiapkan peralatan untuk
pelajaran Kimia. Pelajaran yang cukup menyenangkan bagiku. Waktu berjalan
begitu cepat. Ketika tiba waktu istirahat. Aku menolak ajakan Anika untuk pergi
ke kantin, dengan alasan yang sangat fleksibel, yaitu malas.
“Rinda, ada yang mencarimu, tuh di teras
depan!” ujar Firman, ketua kelasku.
Aku
langsung berdiri dan menghampiri orang yang mencariku. Dia duduk
menghadap ke selatan. Dari belakang aku sudah mengenalinya, dia Kak Muchlis.
Kak Muchlis mendongakkan kepalanya ketika menyadari aku ada di belakangnya.
“Hai, Rin.. lagi sibuk nggak?”
Aku menggeleng pelan dan mengambil
posisi duduk di sebelah kanannya.
“Emm.. gimana ya ngomongnya..” gumam Kak
Muchlis. Kutangkap kebingungan dari raut wajahnya.
Aku mau menemuinya hanya karena asas
kesopanan saja. Jujur, aku malas berlama-lama ada di dekatnya.
“Kamu ingat, beberapa waktu lalu, saat
kita masih SMP, saat kita masih dekat dulu?” Kalimat yang tak ingin kudengar
itu keluar dari bibir Kak Muchlis.
Beribu kali aku berusaha melupakan semua
itu. Tapi, saat ini, detik ini haruskah aku mengupas luka lama yang belum benar-benar
kering ini? Aku tak sanggup. Hatiku menangis, tapi sebisa mungkin aku berusaha
membendung air mataku. Aku tak ingin menangis sekarang, aku tak ingin Kak
Muchlis tahu kalau aku pernah mengharapkannya dulu. Tak bisa kupungkiri, aku
memang terlalu gengsi untuk menunjukkan apa yang sesungguhnya kurasakan.
“Rin, kamu kok diem?”
Aku tersentak mendengar pertanyaan Kak
Muchlis yang ternyata sejak tadi memperhatikanku. Secara spontan, kuanggukkan
kepala.
“Waktu itu, aku pernah tanya pendapatmu
tentang berpacaran. Dan kamu menjawab, kalau dalam ajaran Islam tidak ada yang
membenarkan istilah pacaran, apalagi gaya pacaran anak muda zaman sekarang.
Yang ada adalah istilah ta’aruf.”
“Iya,
bahkan Kakak memperkuat jawabanku dengan ayat Al-Qur’an. Tapi kenapa Kakak
justru berpacaran dengan Danisha. Kakak tahu, aku benar-benar kecewa dengan
Kakak. Aku menganggap Kakak itu munafik.” Tanpa kuperintah, kalimat itu
menyembur dari hatiku. “Maaf, Kak!” lanjutku.
“Iya, aku tahu. Aku pun juga
merasakannya, aku merasakan bahwa kamu membenciku sekarang. Kamu memang pantas
membenciku dan mengatakan aku munafik.” Kak Muchlis terdiam sejenak mengambil
napas panjang. “Aku mau jujur sama kamu, tapi sebelumnya aku minta maaf.”
“Kakak gak perlu minta maaf ke aku,
Kakak mau pacaran atau mau apa itu terserah Kakak. Itu bukan urusanku..”
Aku berdiri.
“Tunggu, Rin kamu boleh pergi, kamu boleh
marah, itu hak kamu. Tapi aku harap kamu mau mendengarkanku dulu..” Dengan
sigap Kak Muchlis segera berdiri menghadapku. Tanpa menggenggam lenganku,
seperti di drama- drama tv.
“Sebenarnya, dulu aku tidak benar-benar
jadian sama Danisha..”
“Ooh.. jadi Kakak hanya mempermainkan
Danisha?” potongku.
“Tidak, Rin. Tidak seperti yang kamu pikirkan.
Sebenarnya kami itu saudara kandung, tapi sejak bayi, aku diasuh oleh teman mamaku.
Dan kami baru mengetahuinya saat aku SMP kelas 8, tepat di hari ulang tahunku.
Tapi kami membuat perjanjian untuk tidak memberitahukan rahasia ini pada siapa pun
selain keluarga dekat kami. Kami tidak pernah menanggapi gosip-gosip yang
beredar saat itu, karena kami tak mau rahasia itu terbongkar.” Kak Muchlis
mengucapkannya dengan nada pelan namun serius. “Rin, sebenarnya aku suka sama
kamu sejak kita dekat dulu, tapi aku terlalu
takut untuk mengungkapkannya. Dan, aku juga nggak akan minta kamu untuk jadi
pacarku. Aku cuma pengen tahu apakah kamu juga suka sama aku?” tanya Kak
Muchlis pelan, nyaris tak terdengar.
Aku tersentak karenanya. Tuhan, apakah
ini mimpi? Jika iya, tolong bangunkan aku sekarang. Aku tak ingin merasakan ini
semakin dalam.
“Bagaimana, Rin?” tanya Kak Muchlis
lagi.
“Maaf, Kak. Aku memang pernah mengagumi
Kakak. Tapi itu dulu..” jawabku lirih. Sekilas kutemukan kekecewaan di wajah
Kak Muchlis. Tuhan, salahkah aku telah menyakiti hati hamba-Mu? Tapi, bukankah
dia yang menyakitiku terlebih dulu?
“Iya, aku ngerti kok. Kamu nggak salah
kalau sekarang rasa itu hilang, karena tanpa kusadari aku sendiri yang
mendesakmu untuk menghapus rasa itu. Seharusnya aku yang minta maaf. Maafkan
aku, aku tak bermaksud menyakitimu..”
Bel tanda berakhirnya istirahat pun berbunyi.
Anak-anak yang melintas nampak memperhatikanku dan Kak Muchlis. Apa mungkin seorang Muchlis Ilhamka
berpacaran dengan Arinda Wulandari? Nggak seimbang banget, Muchlis Ilhamka yang
wajahnya sebelas dua belas dengan Bayu Saptaji, pemain Timnas Futsal Indonesia
itu berpacaran dengan seorang Arinda yang pendek dan nggak banget. Kutangkap
kalimat itu dari pandangan orang-orang yang memperhatikan kami. Biarlah
orang-orang berpikiran sesuka hati mereka, aku tak peduli.
“Rin, aku kembali ke kelas dulu ya. Oh
iya, kita masih bisa berteman kan?”
“Tentu..” kulukis senyumku, namun kali
ini dengan ikhlas.
Kak Muchlis berlari menuju kelasnya. Aku
pun segera masuk ke dalam kelasku.Teriakan tak karuan dan interogasi tentang
kejadian tadi menyergapku. Posisiku sekarang benar-benar seperti seorang
tersangka yang dihujani pertanyaan polisi. Aku berinisiatif untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan kepo dari teman-teman sekelasku itu dengan senyuman.
Untunglah guru BK segera masuk kelas.
Sehingga aku bisa menyimpan semua rahasia ini. Biarlah hanya aku, Kak Muchlis,
dan Tuhan yang tahu rahasia perasaan kami. Akan kukenang semua sebagai
kenangan, kenangan manis dan pahitnya cinta masa remaja..